Rasulullah bersabda "Seorang wanita yang penuh barokah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya dan buruk akhlaknya."
"Akan lebih sempurna ketaqwaan seorang mu'min", kata Rasulullah "Jika ia mempunyai seorang istri yang sholihah, jika diperintah suaminya ia patuh, jika dipandang membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya."
Ada pernikahan yang penuh barokah dan ada yang sedikit barokahnya, dan ada yang sama sekali tidak barokah. Sebagian pernikahan kurang barokah karena niatnya yang tidak tepat. Sebagian disebabkan akhlaknya setelah menikah, tapi perubahan akhlak disebabkan juga karena niat menikah. Sebagian saat pemberian mahar. Rasulullah bersabda, "Wanita yang paling agung kebarokahannya adalah yang paling ringan maharnya."
Mahar (Mas Kawin)
Mahar merupakan suatu hak yang ditentukan oleh syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesucian. Mahar merupakan keharusan tanpa harus ditawar laki-laki. Disebut juga dengan istilah shidaq (kebenaran) yaitu menunjukan kebenaran dan kesungguhan cinta kasih laki-laki yang meminangnya.
Mahar bukanlah atas harga diri wanita, wanita tidak pernah menjual dirinya dengan mahar. Jadi makna mahar lebih dekat kepada syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa suci. Mahar adalah syarat syahnya sebuah perkawinan. Juga merupakan penghormatan laki-laki kepada calon istrinya, merupakan tanggung jawab kepada Allah pembuat aturan dan kepada wanita.
Sebaik-baik Mahar
Sebuah kenangan indah dalam sejarah, yaitu mengenai pernikahan Ummu Sulaim. Tsabit berkata "Belum pernah aku mendengar mahar yang lebih mulia daripada mahar Ummu Sulaim. Ia rukun hidup bersamanya dan melahirkan anak". Apa maharnya? Dalam sunah Nasa'I bahwa Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim lalu dijawab "Demi Allah Abu Thalhah, orang seperti anda tidak akan ditolak (melamar wanita) akan tetapi anda seorang kafir sedangkan saya seorang muslimah. Tidak halal bagiku kawin dengan anda. Namun jika anda masuk Islam maka yang demikian dapat menjadi maharku. Saya tidak minta selain itu." Kemudian Abu thalhah masuk Islam untuk memenuhi maharnya."
Ada hal yang bisa dicatat bahwa mahar dapat menjadi dakwah. Mahar dapat menjadi pengikat tali kasih sekaligus menjadi syi'ar islam. Barangkali untuk tujuan ini, banyak didapati orang memberikan mahar kepada istri berupa mushaf Al Quran dan mukena. Jika ini tujuannya, kita dapat bertanya kembali apakah mahar jenis ini masih mempunyai kekuatan untuk menegakan syi'ar Islam kalau yang demikian hanya menjadi tradisi? Apalagi tidak jarang mahar hanya sekedar basa-basi formal, sedang mahar yang sesungguhnya bukan itu. Di atas kertas, mahar yang tertulis mushaf Al Quran tapi di belakangnya ada mahar yang tidak disebutkan dan dinyatakan saat itu. Jika ini terjadi, dikhawatirkan mahar bukan menjadi syi'ar Islam. Saat ini kita rasakan, mahar yang dekat dengan nafas agama justru tidak membuat hati kita bergetar, tidak membuat darah kita berdesir terkesip karena tertegun oleh keagungannya di balik yang nampak bersahaja. Apakah mahar yang berupa mushaf Al Quran tidak bisa menjadi syi'ar Islam? Insya Allah, masih mempunyai kekuatan syi'ar Islam jika kita meniatkan betul dan menjaga niat itu ketika menyampaikan mahar.
Dulu mahar berupa perlengkapan shalat mempunyai kekuatan syi'ar yang sangat kuat tapi sekarang hanya bersifat kontekstual. Selanjutnya apa yang perlu diwaspadai? Mahar bisa menjadi syi'ar tetapi juga bisa menjadi saran penilaian sosial. Yang pertama, mengarahkan masyarakat pada suatu kesan baik terhadap agama, dan mudah-mudahan hati mereka tergerak. Yang kedua, mengarahkan penilaian masyarakat mengarahkan kita untuk menentukan mahar yang disebut layak, baik dan pantas. Atau menyebutkan mahar malah dalam rangka menunjukan ketinggian derajat atau kebesaran martabat keluarga wanita yang menikah. Sehingga orang mendapat kesan lebih dari yang sesungguhnya.
Berbeda sekali antara dua hal tersebut, baik dalam makna dan akibatnya. Satu catatan, tidak ada keharusan memberikan bentuk mahar sebagai syi'ar islam. Mahar lebih dekat pada artinya kepada pemberian sebagai bukti kebenaran kasih sayangnya dan ketaatan kepada syariat Islam. Inilah yang lebih penting. Mahar juga tidak harus berupa harta, Musa as diminta menggembala kambing sebagai maharnya.
Tidak Bisa Dinilai Secara Kuantitatif
Mahar tidak bisa diukur dari sedikit banyaknya secara kuantitatif. Pernikahan Fathimah Az Zahra. Seandainya kita sempat mengetahui, yang agak lengkap sedikit tentang bagaimana wanita yang akan pertama masuk surga ini mengatur rumah tangga dan mendidik anak, betapa besar pelajaran yang diperoleh oleh kaum muslimin. Seandainya kita sempat menghayati sedikit saja bagaimana Fathimah menjadi madrasah masjid pertama bagi anak-anaknya, Insya Allah kita mendapatkan kesempurnaan cara mendidik sebaik2nya. Sehingga kelak akan lahir anak yang penuh barokah dan diridhai Allah.
Tetapi sedikit sekali yang kita ketahui, kecuali peristiwa ketika tangan putri pemimpin besar ini melepuh karena memutar gilingan. Itupun sering tidak lengkap. Sangat tinggi keagungan Fathimah Az Zahra. Ayahnya memberi julukan Ummu-Abiha (ibu yang melahirkan ayahnya), karena besar penghormatan dan kebaktian Az Zahra pada ayahnya, yaitu Rasulullah. Setiap Rasulullah datang dari berpergian, beliau singgah ke rumah Fathimah untuk menunaikan shalat 2 rakaat di masjid, baru setelah itu ia menjenguk istrinya. Kalau Fathimah datang Rasulullah segera berdiri menyambut dan menciumnya.
Sebagai istri Az Zahra merupakan teladan yang tak habis-habisnya untuk setiap muslimah. Tidak pernah ia membuat marah suaminya, karena Allah tidak menerima ibadah seorang istri sampai suaminya ridha. Tentang Az Zahra suaminya mengatakan "Ketika aku memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku". Fathimah memang penuh kemuliaan dan kasih sayang. Ketika suaminya pulang dari peperangan dalam keadaan luka, Fathimah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia bersihkan darah suaminya Ali bin Abi Thalib dengan penuh perhatian.
Dari rahimnya lahir anak-anak yang penuh kemuliaan. Dua puteranya, Hasan dan Husein sudah kita kenal kemuliaan. Putrinya, Zaenab adalah wanita yang tegar dan penuh kehormatan berani mempertahankan diri di hadapan penguasa yang telah menghina dan memenggal leher saudaranya. Ia menyelamatkan puteranya Husein yaitu Ali Ausath yang kelak dikenal sebagai Ali Zaenal Abidin, pemuka ahli ibadah. Dan keturunan lelaki mulia ini banyak dijumpai berjuang untuk keharuman agama dan kehormatan ummat.
Bagaimanakah Fathimah melahirkan keturunan yang penuh barokah? Fathimah mendidik anak-anaknya dengan keteguhan yang mengagumkan. Sebagai gambaran, Nabi melihat Fathimah sedang menggiling dengan tangannya sambil menyusui anaknya. Maka mengalirlah air mata Rasulullah "Anakku, engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat."
Mendengar itu Fathimah berkata "Ya, Rasulullah segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya dan pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas karunia-Nya."
Begitulah bagian dari pernikahan Fathimah Az Zahra dengan Ali bin Abi Thalib. Apa mahar yang diberikan Ali dalam pernikahan. Kita sudah sering mendengar Ali menjual baju besinya yang dibeli Utsman 400 dirham yang kemudian diberikan lagi kepada Ali sebagai hadiah. Uang inilah mahar dari pernikahannya.
Berapa Ukuran Mahar?
Seorang wanita datang pada Rasulullah "Ya, Rasulullah sesungguhnya aku merelakan diri untuk engkau nikahi."
Wanita itu berdiri lama, kemudiaan seorang laki-laki berdiri "Ya, Rasulullah, nikahkanlah ia denganku, jika engkau tidak berkenan menikahinya."
Kemudian Rasulullah bersabda, "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memberinya mahar?"
Lelaki itu menjawab "Aku tidak memiliki sesuatu apapun selain kainku ini."
Rasulullah bersabda, "Jika engkau berikan kain mu itu, engkau tidak mempunyai kain lagi. Carilah sesuatu untuk diberikan kepadanya."
Lelaki itu berkata "Aku tidak menemukan apa pun."
Rasulullah bersabda "Carilah sesuatu meskipun hanya sebuah cincin besi."
Diriwayat lain Rasulullah bersabda "Barangsiapa yang membayar dengan satu dirham, maka ia telah sah nikahnya."
"Sesungguhnya termasuk keberuntungan perempuan-perempuan adalah mudah melamarnya, ringan mas kawinnya dan subur rahimnya."
Dari hadits-hadits di atas kita memperoleh kesederhanaan mahar. Hadits di atas mengandung ajaran mahar tidak ditentukan batas minimalnya. Imam An Nawawi mengungkapkan makruh memberi mahar melebihi kemampuan yang dimiliki suami pada saat pernikahan. Jadi berapa ukuran mahar yang layak? Tidak bisa diungkapkan secara kuantitatif cuma tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Sebaiknya kerelaan antara kedua fihak.
Rasulullah bersabda "Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta tetapi kekayaan adalah kaya akan jiwa."
Peringatan Penting
Setiap yang berlebih adalah ketidak wajaran. Setiap ketidak wajaran bisa mendatangkan keburukan dan kerusakan. Mahar yang berlebih bisa menimbulkan permusuhan, tetapi mahar terlalu sedikit menyebabkan wanita merasa tidak dihormati dan dihargai. Untuk itu capailah maslahat dalam ukuran menentukan mahar.
Mempersulit Proses Pernikahan
Aisyah ra. berkata "Pernikahan itu sangat sensitif dan tergantung kepada pribadi masing-masing untuk mendapatkan kemuliaan."
Akibat-akibat mempersulit pernikahan :
Menyebabkan perbandingan
Menimbulkan keraguan
Melemahkan kesediaan untuk berjuang bersama
Mengeraskan hati
Saudariku mari kita tanya di dalam diri kita masing-masing apa yang kita cari di dunia ini apakah harta yang banyak, kecantikan, popularitas sehingga banyak laki-laki yang memuja dan memuji kita, gelar, pekerjaan ato hanya ingin mengahabiskan waktu lajang dengan sia-sia dengan menikmati apa yang ada sekarang? Sungguh saya pribadi menyakini itu semua bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya. Karena saya yakin wanita yang baik-baik tidak ingin menghabiskan waktu masa lajangnya dengan sia-sia, hidup dalam pergaulan bebas tanpa arah. Saya tidak tau kenapa sebagian wanita zaman sekarang banyak melupan sesuatu hal didalam kehidupannya yang disibukkan oleh pekerjaan dunia apalagi dalam bidang pekerjaan sehingga membuatnya lalai untuk menikah. Bukankah umur kita semakin hari semakin berkurang?
Tidak ada yang salah jika koq jika kita sebagai perempuan ingin bekerja selagi kita tahu batas-batasannya dan inget kodrat kita sebagai perempuan, selagi kita mampu untuk melaksanakannya dan bagi yang uda menikah tentunya harus mendapatkan izin dari suaminya.
Apakah saudariku tidak cemburu ketika melihat sepasang ikhwan dan akhwat yang menikah muda sambil bergandengan tangan dengan mesra yang sama sekali tidak penah dilakunya semasa mereka lajang, ato boncengan satu motor sambil pegang pinggang dan ditengahnya ada bayi kecil yang mungil dan lucu banget yang rumah tangganya dihiasi dengan suasana yang islami, subhanallah ingin rasanya menghari masa lajanga ini dengan secepatnya, tentunnya kita harus berhati-hati dalam memilih pendamping hidup, jangan hanya memdahulukan nafsu aja. Inget, Menikah juga butuk ILMU!
Apalagi yang barokah itu ringan maharnya, dikaruniai anak yang sholeh dan sholehah serta muda menikahnya. Afwan buat semuanya jika saya hanya bisa menyarankan saja supaya kita sebagai perempuan lebih baik cepet menikahnya biar tidak memberikan peluang kepada setan untuk menjatuhkan kita dalam kemaksiatan dengan lamanya melajang.
Dalam firman Allah:
“Nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantaramu dan hamba-hamba sahayamu, laki-laki ato perempuan yang saleh dan telah pantas menikah. Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka kaya denga karuniaNya. Allah itu maha luas pemebrian-Nya dan maha mengetahui.” (An Nur: 32)
Subhanallah, kita harus yakin bahwa janji Allah itu pasti!
“Jika telah datang kepadamu orang yang kau sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, akan muncul banyak bahaya dan kerusakan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jadi apalagi yang menghalagi kita untuk menikah jika telah datang laki-laki yang shalih dan kitapun menyukainya, hem alangkah baiknya disegerakanlah. Jangan ditunda lagi karena kesempata jarang datang kedua kali, sebaik yang kita utamakan itu adalah agamanya dan akhlak baiknya dulu masalah yang lain insyaAllah akan tetep berjalan dengan baik dan selamat dunia dan akhirat.
So….mau tunggu apalagi, betah dalam kesendirian ato dalam dunia kemaksiatan dengan lama-lama berpacaran bahkan orang tersebut belum tentu jadi pendamping hidup kita?
Semoga kita semua bisa menjadi wanita-wanita yang di barokahi Allah.. Mari mulai detik ini kita azamkan didalam hati kita untuk bisa secepatnya menjalankan salah satu sunnah Rosul yang penuh barokah, dengan menikah membentuk keluaraga yang Sakinah mawadah waromah dan dakwah dengan selalu berusaha, doa dan ikhtiar kepada Allah. Semoga niat suci kita semua dipermudahkan Allah. Amin. Jika masi juga belum ketemu dengan jodohnya mari kita bersabar dalam penantian, yakinlah Allah SWT maha mengetahui apa yang terbaik buat hamban-Nya. Semoga kita semua tidak berputus asa dari rahmat dan karunia Allah. Amin
Semoga kita semua semakin termotivasi setealah membaca note ini, tapi bukan untuk pacaran, tapi menyegerakan pernikahan yang SAMARADA. Oke, Amin. Insya Allah. : )